Kamis, 28 Februari 2013

Kalau tidak salah, aku harus membeli diriku sendiri


Minggu, senin, Selasa. Resah yang kuredam kambuh lagi. Masih mengenai mimpi mimpi yang menagih janji untuk direalisasi. Posisiku sekarang adalah terjebak dalam perusahaan berkembang (yang dulu pernah besar, konon) dengan manajemen yang mengharuskan kami memanage pekerjaan dalam berbagai bidang. Misal saja, saja saya yang konon juga dilantik sebagai desainer grafis harus mencatat buku keuangan, menghafal komponen komputer eceran, terjebak dalam perhitungan multi level marketing yang sangat saya benci, dan gaji dibawah UMR mungkin karena saya baru lulusan SMK kemarin sore kali ya. Tapi saya merasa belum siap dengan beban mental seperti ini, dibilang dari profesionalitas masih jauh lah. Semua orang membujuk saya untuk keluar, ya. Siapa yang tak ingin lepas dari? Kita semua tentu benci diatur, apalagi dengan paham paham kebebasan yang kalian baca lewat zine, blog, newsletter. Semuanya terasa hambar saat menghadapi apa itu realitas. Saya merasa proletarian dunia keriga seperti saya yang tidak punya cukup uang untuk membeli status eskapisme(kuliah) itu entah dalam posisi yang diuntungkan atau dirugikan saya juga masih bingung dengan pemikiran itu.

Aku merasa dibeli, ini bukan diriku yang bernafas dengan sempurna, aku diatur dan di deadline. pakah inirealitas, atau sistem yang harus dilawan. Atau yang kita risaukan adalah realitas itu sendiri
dan apakah melawan realitas itu adalah hidup dalam dunia yang tidak realistis. Sangat tidak realistis lagi bila saya memeras orang tua saya untuk membelikan predikat mahasiswa untukku. Apa mimpi yang besar juga harus diawali dengan modal yang besar pula, cih.  Manusia manusia tak pernah memaknai hidup. Tapi aku juga takkan mengemis kehidupan yang layak dari sistem dan parlemen pembuat undang undang tai itu. Biar mereka bertingkah seperti hewan, kami memang tak punya kekuatan hari ini. Tapi aku tak hidup untuk hari ini. Ini bukan hidupku. Ini hidup milik Tuhan.

Aku kelelahan sepertinya, kantung mataku tak juga membengkak. Tapi terlihat memekat. Hitam. Mungkin karena keras kepalaan ini yang menyokong hari agar tetap waras menurutku, dan apalah konsep waras. Orang orang ingin hidup normal, apakah konsep normal itu?. mapan, apa barometernya? sistem ini memuakkan, tapi banyak orang yang tak mau tau. Tapi apalah gunanya bila tau tapi terjebak dalam  sistem itu? seperti posisiku sekarang. Seperti mengunyah tai rasanya. Kau tau kalau tidak enak, tapi bagaimana lagi. Aku bukan orang yang hidup dari keluarga yang cukup, memberontak malah tak ada perbaikan ekonom esok.

Mungkin aku tak perlu terburu buru meledak dan menghancurkan diriku sendiri, tunggu beberapa momen lagi. Tuhan pasti punya rencana. Aku tau aku sedang dalam kondisi stess sekarang. Aku hanya butuh teman untuk bercerita. Dikala keluargaku tidak sepemikiran, merekan pikir kerja ya seperti ini. Aku tau konsekwensinya, tapi aku merasa belum ada yang bisa meredam kekompleks an ini. Pecundang memang, tapi paling tidak aku masih menyelipkan mimpiku pada sela sela realitas.

Sabtu, 16 Februari 2013

Sepertinya aku membeku dalam susunan cryptex yang mempunyai dua juta kemungkinan, bodoh untuk menghancurkannya

     Hari menggelap seperti biasa, awan memekat menandakan hujan akan segera pecah. Sebaiknya aku mulai mempercepat laju kakiku menuju tempat yang memang dari lipatan langkah pertama meradang di benakku. Sebuah rumah di persimpangan jalan dekat pohon tua yang cukup rindang untuk meredam apapun, rumah dimana kutukan, resah dan gelisah bersemayam.
Kenapa aku suka meradang pula disana, alasan yang standar untuk manusia yang dirundung aroma eskapisme, menggerogoti jalan buntu yang utopis, menikami realitas yang bersikukuh menyelimuti otak. Aku akan membekukan waktu disana, menerawang dari jendela lusuh yang menghantarkan kornea melihat betapa berantakan harapan dan ingatan yang tak bosannya kesana kemari diseret angin yang bertransmigrasi dari tempat yang bertekanan tinggi menuju suhu rendah.

     Akhirnya saampai juga aku pada rumah tua yang telah lapuk dimakan usia, entah siapa pemiliknya dulu yang jelas dia sangat menyukai lukisan zaman Renaissance. Lihat saja ruangan kecil ini disesaki benda benda tua. Cantik dan misterius. Mengingatkanku pada simbolisme pagan dan kias ejekan pada dogma yang ditulisakn Dan Brown pada novelnya. Tapi sudahlah, sambutan dari debu yang mengepul cukup ramah bagiku, segera kututup kembali pintu dan mulai berjalan menuju tempat dimana aku biasa menghabiskan waktu. Di depan jendala lusuh, ya itulah inti dari perjalanan jauh tadi.
Lihat, ingatan acak dan harapan yang beku sedari aku memasuki rumah ini.  Membeku tak berdaya, menikmatinya, membencinya. Menertawainya, memakinya. Dan menangisinya.

     Sungguh dingin disini, aroma hujan juga membeku dalam ingatan tetapi tidak pada rintiknya. Mereka terlalu kuat. Mencuci serakan serakan yang membeku. Mengikis yang seharusya ditiadakan.
Aku mengenakan jaket dan sarung tangan tebal serta penutup telinga agar kehangatanku terjaga, siapa kira hal yang paling aku benci ini tidak merasuk melalui reseptor kulit. Lebih dari itu, mereka menghujam gerbang pengecualian. Hatiku terasa sangat dingin, dan aku lebih membenci itu. Hipotermi hati pikirku, kapilernya bertransfusi ke otak secara halus dan stagnan. Hatiku menggigil. Segera berakhirlah.

    Hujan mengikis igatan yang memang seharusnya, sementara aku melihat mereka melumer bercumbu aspal dan merengkuh tanah. Berwarna seperti pelangi, sakit dan manis. Seharusnya dan apa yang kujaga tetap hidup. Bunga yang merekah dan tumbang. Seharusnya memang begitu, dan pilihan tak semua orang diberi hak yang sama.
Aku bernafas dalam, memacu oksigen ke otak dan merilekskan otot. Berat untuk segera menutup mata dan pergi. Baru saja hujan mereda. Dinginnya stagnan.

     Dari kejauhan sinar yang sama datang menelungkup seluruh pengelihatan, memaksaku berpejam. Sangat terang, menjemputku. Sunyi dan halus. Seperti terbungkus sutra angin sepoi dan cahaya sore yang menantang. Aku akan datang, aku tak pernah berhianat pada senja, Badanku menghangat, mencairkan segala pesimisme yang ikut membeku. Sepertinya aku dihidupkan kembali, untuk ketiga kalinya, repetisi. 
Ah aku tersadar ini seperti kemarin pikirku, seperti kemarinnya juga. Gorden lapis dua kututup dan kubiarkan cahaya itu meminta, debu yang ikut memekat berkooperatif. Aku tak akan lagi. Aku mengenalimu sebagai repetisi. Aku adalah batu. Pintu kukunci rapat. Aku ketakutan, gemetar, tidak lagi.