Sabtu, 16 Februari 2013

Sepertinya aku membeku dalam susunan cryptex yang mempunyai dua juta kemungkinan, bodoh untuk menghancurkannya

     Hari menggelap seperti biasa, awan memekat menandakan hujan akan segera pecah. Sebaiknya aku mulai mempercepat laju kakiku menuju tempat yang memang dari lipatan langkah pertama meradang di benakku. Sebuah rumah di persimpangan jalan dekat pohon tua yang cukup rindang untuk meredam apapun, rumah dimana kutukan, resah dan gelisah bersemayam.
Kenapa aku suka meradang pula disana, alasan yang standar untuk manusia yang dirundung aroma eskapisme, menggerogoti jalan buntu yang utopis, menikami realitas yang bersikukuh menyelimuti otak. Aku akan membekukan waktu disana, menerawang dari jendela lusuh yang menghantarkan kornea melihat betapa berantakan harapan dan ingatan yang tak bosannya kesana kemari diseret angin yang bertransmigrasi dari tempat yang bertekanan tinggi menuju suhu rendah.

     Akhirnya saampai juga aku pada rumah tua yang telah lapuk dimakan usia, entah siapa pemiliknya dulu yang jelas dia sangat menyukai lukisan zaman Renaissance. Lihat saja ruangan kecil ini disesaki benda benda tua. Cantik dan misterius. Mengingatkanku pada simbolisme pagan dan kias ejekan pada dogma yang ditulisakn Dan Brown pada novelnya. Tapi sudahlah, sambutan dari debu yang mengepul cukup ramah bagiku, segera kututup kembali pintu dan mulai berjalan menuju tempat dimana aku biasa menghabiskan waktu. Di depan jendala lusuh, ya itulah inti dari perjalanan jauh tadi.
Lihat, ingatan acak dan harapan yang beku sedari aku memasuki rumah ini.  Membeku tak berdaya, menikmatinya, membencinya. Menertawainya, memakinya. Dan menangisinya.

     Sungguh dingin disini, aroma hujan juga membeku dalam ingatan tetapi tidak pada rintiknya. Mereka terlalu kuat. Mencuci serakan serakan yang membeku. Mengikis yang seharusya ditiadakan.
Aku mengenakan jaket dan sarung tangan tebal serta penutup telinga agar kehangatanku terjaga, siapa kira hal yang paling aku benci ini tidak merasuk melalui reseptor kulit. Lebih dari itu, mereka menghujam gerbang pengecualian. Hatiku terasa sangat dingin, dan aku lebih membenci itu. Hipotermi hati pikirku, kapilernya bertransfusi ke otak secara halus dan stagnan. Hatiku menggigil. Segera berakhirlah.

    Hujan mengikis igatan yang memang seharusnya, sementara aku melihat mereka melumer bercumbu aspal dan merengkuh tanah. Berwarna seperti pelangi, sakit dan manis. Seharusnya dan apa yang kujaga tetap hidup. Bunga yang merekah dan tumbang. Seharusnya memang begitu, dan pilihan tak semua orang diberi hak yang sama.
Aku bernafas dalam, memacu oksigen ke otak dan merilekskan otot. Berat untuk segera menutup mata dan pergi. Baru saja hujan mereda. Dinginnya stagnan.

     Dari kejauhan sinar yang sama datang menelungkup seluruh pengelihatan, memaksaku berpejam. Sangat terang, menjemputku. Sunyi dan halus. Seperti terbungkus sutra angin sepoi dan cahaya sore yang menantang. Aku akan datang, aku tak pernah berhianat pada senja, Badanku menghangat, mencairkan segala pesimisme yang ikut membeku. Sepertinya aku dihidupkan kembali, untuk ketiga kalinya, repetisi. 
Ah aku tersadar ini seperti kemarin pikirku, seperti kemarinnya juga. Gorden lapis dua kututup dan kubiarkan cahaya itu meminta, debu yang ikut memekat berkooperatif. Aku tak akan lagi. Aku mengenalimu sebagai repetisi. Aku adalah batu. Pintu kukunci rapat. Aku ketakutan, gemetar, tidak lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar