Kamis, 04 April 2013

missunderstanding mind itself

     "Aku akan mengubah keadaan ini menjadi lebih baik", entah apa yang kupikirkan menuliskan bait dengan tanda kutip tersebut. Kespekulatifan yang malah menjadi momok dalam setiap perspektifku melihat keluar jendela. Aku berpikir tentang perbaikan, aku berpikir tentang realitas, aku berpikir tentang menyamankan posisi, lalu aku terlalu bingung untuk memikirkan apapun dan pada akhirnya realitas lah yang mengambil alih segala bidang dalam konstitusi ketuhanan ini. Melelahkan ahaha, aku tertawa kecil sembari melihat jendela, jendela perskeptif yang kian kabur.

     Menilik tentang bagaimana seharusnya aku bersikap, aku mulai bingung terhadap konsep menjadi diri sendiri, menjadi diri sendiri atau bukan itu adalah tanggapan orang lain terhadap ku bila aku mulai berubah. Sementara perubahan itu terjadi atas kehendak aku akan menjadi diriku sendiri dalam artian lebih, entah lebih baik atau sebaliknya. Dan lontaran konsep perubahan itu mencuat dari orang disekitar kita yang memang merasakan perubahan tersebut. Bila orang yang bertemu kita secara random tidak akan merasakan impact dari oerubahan itu. Mungkin menjadi diri sendiri itu bisa diartikan sebagain kenyamanan kita meniru, dan bukankah kita adalah kopian dari entah idola, entah keluarga, entah teman, entah orang asing yang sadar atau tidak sadar kita mencuri, meniru, kopian dalam ketidaksempurnaan atau penyempurnaan yang bisa akan dinamai sebagai expanding, evolution.

     Jadi bila ditanya dimana posisiku sebagai peniru sekarang, akan lebih luas bila aku hidup dalam good old dayz, dimana musik, fashion, cara pikir berpacu pada jaman jaman kelahiran ayah atau ibu kita. Ah jaman kita sekarang aja ngaduk ngaduk bahan lama, kapan move on ahahaha fakkkkkkkkkkkkk!

Kamis, 28 Februari 2013

Kalau tidak salah, aku harus membeli diriku sendiri


Minggu, senin, Selasa. Resah yang kuredam kambuh lagi. Masih mengenai mimpi mimpi yang menagih janji untuk direalisasi. Posisiku sekarang adalah terjebak dalam perusahaan berkembang (yang dulu pernah besar, konon) dengan manajemen yang mengharuskan kami memanage pekerjaan dalam berbagai bidang. Misal saja, saja saya yang konon juga dilantik sebagai desainer grafis harus mencatat buku keuangan, menghafal komponen komputer eceran, terjebak dalam perhitungan multi level marketing yang sangat saya benci, dan gaji dibawah UMR mungkin karena saya baru lulusan SMK kemarin sore kali ya. Tapi saya merasa belum siap dengan beban mental seperti ini, dibilang dari profesionalitas masih jauh lah. Semua orang membujuk saya untuk keluar, ya. Siapa yang tak ingin lepas dari? Kita semua tentu benci diatur, apalagi dengan paham paham kebebasan yang kalian baca lewat zine, blog, newsletter. Semuanya terasa hambar saat menghadapi apa itu realitas. Saya merasa proletarian dunia keriga seperti saya yang tidak punya cukup uang untuk membeli status eskapisme(kuliah) itu entah dalam posisi yang diuntungkan atau dirugikan saya juga masih bingung dengan pemikiran itu.

Aku merasa dibeli, ini bukan diriku yang bernafas dengan sempurna, aku diatur dan di deadline. pakah inirealitas, atau sistem yang harus dilawan. Atau yang kita risaukan adalah realitas itu sendiri
dan apakah melawan realitas itu adalah hidup dalam dunia yang tidak realistis. Sangat tidak realistis lagi bila saya memeras orang tua saya untuk membelikan predikat mahasiswa untukku. Apa mimpi yang besar juga harus diawali dengan modal yang besar pula, cih.  Manusia manusia tak pernah memaknai hidup. Tapi aku juga takkan mengemis kehidupan yang layak dari sistem dan parlemen pembuat undang undang tai itu. Biar mereka bertingkah seperti hewan, kami memang tak punya kekuatan hari ini. Tapi aku tak hidup untuk hari ini. Ini bukan hidupku. Ini hidup milik Tuhan.

Aku kelelahan sepertinya, kantung mataku tak juga membengkak. Tapi terlihat memekat. Hitam. Mungkin karena keras kepalaan ini yang menyokong hari agar tetap waras menurutku, dan apalah konsep waras. Orang orang ingin hidup normal, apakah konsep normal itu?. mapan, apa barometernya? sistem ini memuakkan, tapi banyak orang yang tak mau tau. Tapi apalah gunanya bila tau tapi terjebak dalam  sistem itu? seperti posisiku sekarang. Seperti mengunyah tai rasanya. Kau tau kalau tidak enak, tapi bagaimana lagi. Aku bukan orang yang hidup dari keluarga yang cukup, memberontak malah tak ada perbaikan ekonom esok.

Mungkin aku tak perlu terburu buru meledak dan menghancurkan diriku sendiri, tunggu beberapa momen lagi. Tuhan pasti punya rencana. Aku tau aku sedang dalam kondisi stess sekarang. Aku hanya butuh teman untuk bercerita. Dikala keluargaku tidak sepemikiran, merekan pikir kerja ya seperti ini. Aku tau konsekwensinya, tapi aku merasa belum ada yang bisa meredam kekompleks an ini. Pecundang memang, tapi paling tidak aku masih menyelipkan mimpiku pada sela sela realitas.

Sabtu, 16 Februari 2013

Sepertinya aku membeku dalam susunan cryptex yang mempunyai dua juta kemungkinan, bodoh untuk menghancurkannya

     Hari menggelap seperti biasa, awan memekat menandakan hujan akan segera pecah. Sebaiknya aku mulai mempercepat laju kakiku menuju tempat yang memang dari lipatan langkah pertama meradang di benakku. Sebuah rumah di persimpangan jalan dekat pohon tua yang cukup rindang untuk meredam apapun, rumah dimana kutukan, resah dan gelisah bersemayam.
Kenapa aku suka meradang pula disana, alasan yang standar untuk manusia yang dirundung aroma eskapisme, menggerogoti jalan buntu yang utopis, menikami realitas yang bersikukuh menyelimuti otak. Aku akan membekukan waktu disana, menerawang dari jendela lusuh yang menghantarkan kornea melihat betapa berantakan harapan dan ingatan yang tak bosannya kesana kemari diseret angin yang bertransmigrasi dari tempat yang bertekanan tinggi menuju suhu rendah.

     Akhirnya saampai juga aku pada rumah tua yang telah lapuk dimakan usia, entah siapa pemiliknya dulu yang jelas dia sangat menyukai lukisan zaman Renaissance. Lihat saja ruangan kecil ini disesaki benda benda tua. Cantik dan misterius. Mengingatkanku pada simbolisme pagan dan kias ejekan pada dogma yang ditulisakn Dan Brown pada novelnya. Tapi sudahlah, sambutan dari debu yang mengepul cukup ramah bagiku, segera kututup kembali pintu dan mulai berjalan menuju tempat dimana aku biasa menghabiskan waktu. Di depan jendala lusuh, ya itulah inti dari perjalanan jauh tadi.
Lihat, ingatan acak dan harapan yang beku sedari aku memasuki rumah ini.  Membeku tak berdaya, menikmatinya, membencinya. Menertawainya, memakinya. Dan menangisinya.

     Sungguh dingin disini, aroma hujan juga membeku dalam ingatan tetapi tidak pada rintiknya. Mereka terlalu kuat. Mencuci serakan serakan yang membeku. Mengikis yang seharusya ditiadakan.
Aku mengenakan jaket dan sarung tangan tebal serta penutup telinga agar kehangatanku terjaga, siapa kira hal yang paling aku benci ini tidak merasuk melalui reseptor kulit. Lebih dari itu, mereka menghujam gerbang pengecualian. Hatiku terasa sangat dingin, dan aku lebih membenci itu. Hipotermi hati pikirku, kapilernya bertransfusi ke otak secara halus dan stagnan. Hatiku menggigil. Segera berakhirlah.

    Hujan mengikis igatan yang memang seharusnya, sementara aku melihat mereka melumer bercumbu aspal dan merengkuh tanah. Berwarna seperti pelangi, sakit dan manis. Seharusnya dan apa yang kujaga tetap hidup. Bunga yang merekah dan tumbang. Seharusnya memang begitu, dan pilihan tak semua orang diberi hak yang sama.
Aku bernafas dalam, memacu oksigen ke otak dan merilekskan otot. Berat untuk segera menutup mata dan pergi. Baru saja hujan mereda. Dinginnya stagnan.

     Dari kejauhan sinar yang sama datang menelungkup seluruh pengelihatan, memaksaku berpejam. Sangat terang, menjemputku. Sunyi dan halus. Seperti terbungkus sutra angin sepoi dan cahaya sore yang menantang. Aku akan datang, aku tak pernah berhianat pada senja, Badanku menghangat, mencairkan segala pesimisme yang ikut membeku. Sepertinya aku dihidupkan kembali, untuk ketiga kalinya, repetisi. 
Ah aku tersadar ini seperti kemarin pikirku, seperti kemarinnya juga. Gorden lapis dua kututup dan kubiarkan cahaya itu meminta, debu yang ikut memekat berkooperatif. Aku tak akan lagi. Aku mengenalimu sebagai repetisi. Aku adalah batu. Pintu kukunci rapat. Aku ketakutan, gemetar, tidak lagi.

Jumat, 18 Januari 2013

Lipatan Terakhir, Simpul Erat Pemaknaan Hari

     Waktu sudah menunjukkan pukul 16.20 tak terasa sudah waktunya jam pulang kantor, masih mengutak atik layout leaflet lipat 2 yang sedari tadi pagi tak kunjung selesai. Entah apa yang dipikirkan Bos ku tentang kelambatan pengerjaan yang tentu saja akan mempengaruhi profit. Benar saja, tadi pagi bangun kesiangan, terlambat seperempat jam dan ocehan bos sambil nyengir "kalo misal gaji besok telat telatan nggak papa kan?". Senyum kecut aku tak peduli dan menyalakan CPU butut tanpa penutup samping itu.
Beberapa hari ini terasa semakin berat saja, pemikiran konyl untuk self destruk dan menabrakan diri ke mobil yang melaju dijalanan. Aku tertawa kecil dalam hati, semakin kuat tekanan yang dirasa semakin aku tertantang untuk memaki semua yang terjadi. Aku malu untuk tidak menjadi seseorang yang berguna saat aku mati, paling tidak untuk orang disekitarku dan untuk anakku kelak. Kau akan melihat ayah mati dengan bangga, kau akan melihat bagaimana sebuah cerita takkan lenyap untuk berpatroli di hari mu besok, patokan tak tertulis yang membimbingmu berjalan melewati bebatuan yang malah akan kau telan besok.

     Pemikiran baru yang datang tak selalu baik, paling tidak aku masih menggunakan otakku untuk berpikir, entah apajadinya bila aku berhenti meggunakan benda paling membantu dan paling merusak ini.Hidup butuh sensasi dan apapun yang ada hari ini sudah dikersialisasi. Tunggu saja sampai udara dan sinar matahari diperdagangkan layak tanah dan air hari ini. Ah, melelahkan sekali.
Aku sering melamunkan bagaimana seharusnya hariku dijalani, bagaimana seharusnya mimpi ini dijalani dan dihidupi. Tidak dilipat rapi dan membosankan seperti ini. Apa yang akan kau katakan padaku sekarang? Apakah aku terlalu manusia dengan semua tulisan basi dan keluh kesah yang takkan membantuku mengenyam apapun? Untuk apapun, tulisan tulisan inilah yang pada akhirnya akan tetap menemukan tuannya, menjaga mayat tuannya dari kikisan jaman. Menjadi abadi bersama enyaman mulut para pengguna otak.
Karena banyak orang yang tak pernah membaca dan lihatlah hal apa yang mereka temukan untuk membekali diri? terus saja jilati saja pencarian jati diri yang tak pernah kau temukan lewat kekerasan dan waktu yang terbuang sia sia.

      Aku memutuskan untuk turun dari motor Wira, sahabat sekaligus rekan kerja yang sepertinya juga merasa dikecam pekat laju hari. Memasang headset dan mulai sok santai menatap langit dengan mata yang sudah terlalu lelah. Sungguh aku tak peduli dengan apapun lagi, aku tak punya tujuan dan beban yang harus diseret lari. Oh hoppipolla Sigur Ros aku merasa menjadi daun linden yang diterbangkan angin meuju angkasa dan melihat orang yang melipat mimpi mereka, dan menjualnya pada realitas dan menjalankan sistem yang membosankan. ahahahaha utopia para pelipat mimpi, sungguh sangat membosankan. Mau apa lagi yang kau tuntut? kau budak, dan aku budak, kau lapar dan aku lapar, kenapa kita tidak saling memberi hidup, berbagi banyak hal, tidak ada monopoli mimpi milyader bajingan dan membuka lebar mimpi kita masing masing. Menajangnya di setiap rumah agar terlihat indah. Tidak ada yang mengatur cara kita hidup, tidak ada yang membatasi waktu kita berbincang dengan keluarga. Kau membicarakan kemajuan atas monopoli pasarmu, akan kubangun kemunduran atas pengenbalian mimpi orang yang dijual ke pengepul mimpi. Ahhahaha awas kau

Senin, 10 Desember 2012

sambat meneh

     Hari berlalu dengan segala lalu lalang, mempunyai hobi baru yaitu membaca novel. Kenapa nggak dari dulu saya bertemu dengan komplesifitas yang cerdas itu? hari ini saya disibukkan dengan pekerjaan yang tak laju nyaman. Kemarin menyelesaikan perahu kertas yang sangat segar di awal tetapi kok terasa ngepop banget di akhirnya tapi itu tak mengurangi intensitas keseluruhan asik. Lalu menuju karya Tere liye, Daun Yang Jatuh Takpernah Membenci Angin, cukup menginspirasi dan menemukan kosa kata baru untuk ditelan dan di ekskresikan pada bait bait usang. Apa kabar kalian dengan rutinitas masing masing? sudah menemukan cara hidup yang terasa kamu banget? saya menemukan cara hidup baru memang atau lebih tepatnya dituntut mengikuti alur hidup karena kehidupan yang saya jalani sekarang tak jauh dari tuntutan. Buruh desainer grafis ecek ecek yang sok profesional berlari terengah engah dipaksa menelan mentah hari. Aku lebih sering menyendiri sekarang, entah kenapa aku sangat lelah dengan segala hiruk pikuk sosial yang kadang terasa membatasi eksplorasiku. Kadang merasa ini bukan hidupku, tapi apa yang bisa ku tuntut? kadang terasa ingin menangis. Tak kunjung juga kulepas karena untuk apa juga, aku malah berbalik tertawa dan memikirkan hal semenarik mungkin untuk melepas kepenatan yang benar benar terasa mencekik.

     Sekarang aku sedang giat giatnya menggambar, entah mengapa aku berharap sekali pada keinginanku untuk profesional dalam bidang illustrasi, tapi itulah masalah dimana kamu dituntut 8 jam memeras tenaga dan sesampainya dirumah setelah menatap monitor seharian harus meneruskan gambar pointilis berukuran A3 yang menagih goresan terakhir. Ah, hari banyak berubah. Aku serasa ingin sekali menuntut bangku kuliah. Mengisi waktu luang yang tanpa tuntutan harian, ber eksplorasi dengan mimpi dan harapan yang menjadi alasan untuk tetap hidup selain aspek Tuhan, keluarga, dan teman. Umur menagih untuk diberi jejak, sejarah hidupku tak merubah apapun selain coretan coretan gelisah pada tembok kota yang idealis setengah mati hingga membuat orang lain tak nyaman dan aku tak peduli.

     Waktu sudah menunjukkan pukul 17.30, hampir satu jam aku duduk di bilik nomor 4 warnet terdekat dari rumah, sebenarnya ingin naik sepeda tapi entah mengapa ingin berjalan saja. Sambil memikirkan apa yang harus dilakukan. seperti biasa, mencari inspirasi untuk diterapkan pada lembar kosong dirumah dan sedikit membaca tulisan blog atau apapaun. Hari memang berjalan normal. Setidaknya itu yang aku jaga agar tetap melekat dikepala. Agar aku tak melulu menerapkan anarkisme dalam setiap rongga hidup yang kadang tak dapat diterima masyarakat. Rutinitas rutinitas, suatu saat kau akan padam bersama mimpi mimpi yang tertunda. Menagih lipatan harapan yang terselip di langkah harian yang terseok. Kau akan baik saja esok, walau bukan hari ini, jaga saja persepsi ini hangat :)

Minggu, 23 September 2012

19

     Kemarin tepatnya tanggal 22 September, hari Sabtu yang menggeapkan usiaku menjadi 19 tahun yang luar biasa dan misterius. -end